Please use this identifier to cite or link to this item: https://repositori.uma.ac.id/handle/123456789/15409
Title: Tinjauan Yuridis Atas Putusnya Perkawinan Bagi Penganut Budhis di Indonesia (Studi Kasus Nomor 130/Pdt.G/2017/LBP)
Other Titles: Juridical Overview of the Dissolution of Marriage for Buddhists in Indonesia (Case Study Number 130/Pdt.G/2017/LBP)
Authors: Putri, Nanda Regina
metadata.dc.contributor.advisor: Maswandi
Syahputra, Yusrizal Adi
Keywords: perkawinan;agama budhis
Issue Date: 9-Jan-2021
Publisher: Universitas Medan Area
Series/Report no.: NPM;158400169
Abstract: Perkawinan diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu pengertian dari perkawinan dalam agama Buddha adalah vivāha yaitu membawa sang pengantin wanita dari rumah ayahnya. Perceraian merupakan kulminasi dari penyelesaian perkawinan yang buruk, dan terjadi apabila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Perceraian tidak diatur secara spesifik dalam agama Buddha layaknya agama lainnya, perceraian tidak dilarang namun juga tidak dianjurkan dalam agama Buddha. Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perceraian bagi penganut agama Buddha di Indonesia, akibat hukum yang ditimbulkannya, serta peraturan hukum yang mengaturnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan data yang bersumber dari dokumentasi dan studi kepustakaan serta diperkuat dari informasi yang diperoleh dari informan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwasanya dalam hal perceraian, maka umat Buddha mengikuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Dalam hal mekanisme perceraian itu sendiri, kecuali yang dilakukan di hadapan Pengadilan Agama bagi Umat Islam, tidak ditentukan keharusan misalnya keabsahan perceraian harus memenuhi hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dalam hal ini agama Buddha. Akibat hukum atas putusnya perkawinan agama Buddha menurut Pasal 2 ayat (1 dan 2) mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan suami, istri, berakibat juga pada kedudukan harta bersama dalam perkawinan serta berakibat pada kewajiban orang tua kepada anak dan sebaliknya serta perwalian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwasanya perkawinan dan perceraian dalam agama Buddha berbeda dengan perkawinan dan perceraian dalam agama lainnya, perceraian tidak diatur secara spesifik dalam agama Buddha sehingga penganut agama Buddha mengikuti Undang-Undang Republik Indoneisa Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal pelaksanaannya. Marriage is regulated in Article 1 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. One of the definitions of marriage in Buddhism is vivāha, which is bringing the bride from her father's house. Divorce is the culmination of a bad marriage settlement, and occurs when the husband and wife are no longer able to find solutions to problems that can satisfy both sides. Divorce is not specifically regulated in Buddhism like other religions, divorce is not prohibited but also discouraged in Buddhism. The purpose of conducting this research is to find out how divorce is for Buddhists in Indonesia, the legal consequences it causes, and the legal regulations governing it. The method used in this research is the normative juridical method with data sourced from documentation and literature study and reinforced from information obtained from informants. The result of this research is that in the case of divorce, Buddhists follow the Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 1974 concerning Marriage. Article 38 of Law no. 1 of 1974 states that a marriage can be broken up due to death, divorce, or by court decision. In the case of the divorce mechanism itself, except for those carried out before the Religious Courts for Muslims, there is no stipulation, for example, the legality of divorce must comply with the laws of each religion and belief, in this case Buddhism. The legal consequences of breaking up a Buddhist marriage according to Article 2 paragraphs (1 and 2) have legal consequences on the position of husband and wife, as well as on the position of joint property in marriage and result in the obligations of parents to children and vice versa and guardianship. The conclusion of this study is that marriage and divorce in Buddhism are different from marriage and divorce in other religions, divorce is not specifically regulated in Buddhism so that Buddhists follow the Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 1974 in its implementation
Description: 76 Halaman
URI: https://repositori.uma.ac.id/handle/123456789/15409
Appears in Collections:SP - Civil Law

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
158400169 - Nanda Regina Putri - Chapter IV.pdf
  Restricted Access
Chapter IV367.22 kBAdobe PDFView/Open Request a copy
158400169 - Nanda Regina Putri - Fulltext.pdfCover, Abstract, Chapter I,II,III,Bibliography3.4 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.