Analisis Konversi Lahan Perkebunan Karet Rakyat Menjadi Pertanian Ubi Kayu Terhadap Pendapatan Petani di Desa Cempedak Lobang Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai

Abstract

Salah satu upaya yang dilakukan petani karet di beberapa daerah di Sumatera Utara adalah melakukan alih fungsi lahan perkebunan karet ke usaha pertanian lainnya. Hal ini dilakukan disebabkan masyarakat kurang mendapat kepastian harga dan dan rendahnya pendapatan petani karet sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pendapatan antara petani karet dan petani ubi kayu, Untuk mengetahui perbedaan efisiensi usahatani antara petani karet dan petani ubi kayu, untuk mengetahui ada prospek pemasaran ubi kayu dibandingkan karet. Penelitian ini menggunakan data primer data yang diperoleh dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan pada usahatani karet adalah sebesar Rp. 33.907.379,20 per hektar, sedangkan pendapatan pada usahatani ubi kayu adalah sebesar Rp. 39.725.568,13 per hektar. Pendapatan pada usahatani karet lebih kecil dibanding pendapatan pada usahatani ubi kayu, dengan selisih sebesar Rp. 5.818.188,93. Uji beda rata-rata menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan usahatani karet dengan pendapatan usahatani ubi kayu, dimana pendapatan usahatani ubi kayu lebih besar. Nilai R/C pada usahatani karet adalah sebesar 5,16, sedangkan R/C pada usahatani ubi kayu adalah sebesar 8,47, dengan selisih kelayakan sebesar 3,31. Hasil uji beda rata-rata terhadap nilai R/C menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelayakan usahatani karet dengan kelayakan usahatani ubi kayu, dimana usahatani ubi kayu lebih efisien. Pemasaran ubi kayu di masa mendatang memiliki prospek yang cukup baik, karena permintaan terhadap ubi kayu dan produk olahannya cenderung meningkat, terdapat banyak perusahaan yang dapat menampung hasil ubi kayu, dan tingkat harga ubi kayu cenderung meningkat pada setiap tahun. One of the efforts made by rubber farmers in several areas in North Sumatra is to change the function of rubber plantation land to other agricultural businesses. This is done because the community does not have certainty about prices and the low income of rubber farmers so that they are unable to meet the needs of the farmers and their families. This study aims to determine the difference in income between rubber farmers and cassava farmers. To determine the difference in farming efficiency between rubber farmers and cassava farmers, to determine whether there are marketing prospects for cassava versus rubber. This study uses primary data data obtained by using a list of questions that have been prepared. The results showed that the income in rubber farming was Rp. 33,907,379.20 per hectare, while the income from cassava farming is Rp. 39,725,568.13 per hectare. Income from rubber farming is lower than that of cassava farming, with a difference of Rp. 5,818,188.93. The average difference test shows that there is a significant difference between the income of rubber farming and the income of cassava farming, where the income of cassava farming is greater. The R / C value for rubber farming was 5.16, while the R / C value for cassava farming was 8.47, with a difference in feasibility of 3.31. The results of the average difference test on the R / C value show that there is a significant difference between the feasibility of rubber farming and the feasibility of cassava farming, where cassava farming is more efficient. Cassava marketing in the future has a pretty good prospect, because the demand for cassava and its processed products tends to increase, there are many companies that can accommodate cassava products, and the price level of cassava tends to increase every year.