Perbandingan Percepatan Spektral Desain di Provinsi Bengkulu dalam Sni 1726-2019 dan 1726-2012

Abstract

Indonesia memiliki tingkat kegempaan yang tinggi dan cukup rawan gempa (Halim & widodo, 2017). Tiga sampai lima gempa bumi yang merusak terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi dampak bencana, sangat penting untuk mengelompokkan dampak gempa bumi di Indonesia. Keberadaan klasterisasi ini berguna untuk mengelompokkan gempa bumi berdasarkan ciri-cirinya, sehingga ciri-ciri setiap provinsi di setiap klaster dapat diperhitungkan ketika merencanakan langkah-langkah mitigasi. (Halim & Widodo,2017). Gempa bumi dengan kekuatan 8,4 SR dan 7,8 SR mengguncang Bengkulu dan Mentawai pada hari Rabu, 12 September dan Kamis, 13 September. Menurut data Bappenas, terdapat 25 korban jiwa, 41 korban luka berat, dan 51 korban luka ringan di Sumatera Barat dan Bengkulu. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu. Menurut Irwan Meilano, ahli geodesi gempa di Institut Teknologi Bandung (ITB), gempa Bengkulu 2007 disebabkan oleh patahnya segmen Enggano, yang membentang dari utara Enggano hingga ujung Siberut. Pemerintah Bengkulu harus mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana dengan menetapkan kriteria yang jelas untuk konstruksi bangunan di daerah rawan gempa. Memastikan jaringan alat pemantau beroperasi pada waktu yang sama (Ahmad Supardi, 2019). Dalam hal ini, gaya lateral akibat pembebanan gempa diperhitungkan dengan cermat selama perencanaan dan evaluasi struktur tahan gempa sesuai dengan standar terbaru. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengadopsi peraturan perencanaan konstruksi bangunan tahan gempa SNI 1726-2012 (Nurjaman, 2015). Namun, dengan banyaknya gempa bumi besar yang terjadi setelah tahun 2012, SNI 1726-2012 dianggap kurang sesuai untuk digunakan sebagai pedoman untuk mengembangkan konstruksi tahan gempa (Iskandar, 2020). Sebagai bagian dari revisi standar perencanaan struktur bangunan tahan gempa SNI 1726-2019, desain respons spektrum SNI 1726-2012 dan SNI 1726-2019. Indonesia has a high seismicity level and is quite earthquake-prone (Halim & Widodo, 2017). Three to five damaging earthquakes occur in Indonesia each year. As part of the effort to reduce the impact of disasters, it is important to cluster the impact of earthquakes in Indonesia. This clustering is useful for grouping earthquakes based on their characteristics, so that the characteristics of each province in each cluster can be taken into account when planning mitigation measures. (Halim & Widodo, 2017). Earthquakes with magnitudes of 8.4 and 7.8 shook Bengkulu and Mentawai on Wednesday, September 12 and Thursday, September 13, respectively. According to Bappenas data, there were 25 fatalities, 41 serious injuries, and 51 minor injuries in West Sumatra and Bengkulu. Thousands of people were temporarily homeless. According to Irwan Meilano, an earthquake geodesist at the Bandung Institute of Technology (ITB), the 2007 Bengkulu earthquake was caused by the rupture of the Enggano segment, which stretches from the north of Enggano to the tip of Siberut. The Bengkulu government should prepare for disasters by setting clear criteria for building construction in earthquake-prone areas. Ensure the network of monitoring devices operates at the same time (Ahmad Supardi, 2019). In this case, lateral forces due to earthquake loading are carefully taken into account during the planning and evaluation of earthquake-resistant structures in accordance with the latest standards. In recent years.