Upaya Hukum dalam Proses Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Abstract

Kepailitan dan PKPU bersumber dari adanya ketidakmampuan debitur dalam menyelesaikan kewajiban terkait pembayaran utangnya, namun hal yang membedakan antara kepailitan dan PKPU, salah satunya adalah terkait dengan rencana perdamaian dan upaya hukum. Dalam kepailitan, terhadap putusan Pengadilan Niaga dapat diajukan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali. Sedangkan dalam proses PKPU, terhadap putusan Pengadilan Niaga tidak dapat diajukan upaya hukum. Permasalahan penelitian ini adalah mengenai bagaimana upaya hukum terhadap perkara kepailitan serta bagaimana proses kepailitan di Indonesia. Metodologi penelitian ini adalah penelitian yuridis dengan pendekatan normatif, yang mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta hal-hal dalam kenyataan masyarakat. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, bersumber dari hasil wawancara dengan anarasumber yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Upaya hukum dalam perkara kepailitan ada tiga macam yakni Perlawanan, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Perlawanan dalam kepailitan diajukan kepada pengadilan yang menetapkan putusan pernyataan pailit. Upaya hukum kasasi diajukan ke Mahkamah Agung, dengan demikian, terhadap keputusan pengadilan ditingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding tetapi langsung dapat dilakukan upaya kasasi. Proses kepailitan di Indonesia dimuali dari permohonan pailit diikuti dengan pengurusan dan pemberesan harta debitor pailit pasca debitur di putus pailit oleh hakim pengadilan dan Kurator dilakukan pengumuman dan rapat kreditor, melanjutkan usaha (On Going Concern), rapat verifikasi (pencocokan piutang) dan perdamaian. Apabila tidak ada perdamaian maka akan langsung dilaksanakan tahap pemberesan. Selanjutnya dilaksanakan pelaksanaan pemberesan harta pailit tersebut oleh Kurator, yaitu harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kepada para kreditor dengan diawasi oleh hakim pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. Bankruptcy and PKPU originate from the debtor's inability to complete obligations related to debt payments, but one of the things that differentiates bankruptcy and PKPU is related to peace plans and legal remedies. In bankruptcy, cassation and judicial review can be submitted to the Commercial Court's decision. Meanwhile, in the PKPU process, legal action cannot be filed against the Commercial Court's decision. The problem of this research is regarding how legal action is taken in bankruptcy cases and how the bankruptcy process works in Indonesia. The methodology of this research is juridical research with a normative approach, which examines applicable legal provisions as well as matters in the reality of society. The type of data in this research is primary data, sourced from interviews with sources which are then analyzed qualitatively. There are three types of legal remedies in bankruptcy cases, namely Resistance, Cassation and Judicial Review (PK). Bankruptcy disputes are submitted to the court which determines the decision to declare bankruptcy. The legal action for cassation is submitted to the Supreme Court, thus, an appeal cannot be submitted to the decision of the court at first instance but an appeal can be made directly. The bankruptcy process in Indonesia begins with a bankruptcy petition followed by the management and settlement of the bankrupt debtor's assets after the debtor has been declared bankrupt by the court judge and curator, announcements and creditor meetings, continuing business (On Going Concern), verification meetings (matching receivables) and reconciliation. If there is no peace, the settlement stage will immediately be carried out. Next, the liquidation of the bankruptcy assets is carried out by the Curator, namely that the bankruptcy assets are immediately executed and distributed to the creditors, supervised by a supervisory judge appointed by the Court Judge.