Sikap Penganut Ugamo Malam dalam Meyakini Ajarannya

Abstract

Keberadaan Penganut Ugamo Malim atau yang kerap disebut Parmalim sebagai salah satu komunitas masyarakat, khususnya dalam etnis Batak Toba, sejak lama menuai kontroversi. Kontroversi itu disebabkan karena perbedaan pendapat antara Parmalim dengan sebagian masyarakat serta pemerintah. Parmalim menganggap bahwa ajaran yang mereka yakini merupakan sebuah agama. Sementara pemerintah menilainya sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tradisi Batak Toba. Sehingga kesan yang tersirat di benak pemerintah, Parmalim adalah kelompok masyarakat yang belum beragama. Di sisi lain, masyarakat menolak Parmalim, karena menganggap ajaran mereka sesat yang menyembah arwah dan roh-roh nenek moyang. Persoalan demi persoalan muncul. Akibat tidak diakui legalitasnya, Parmalim merasa terdiskriminasi, sebab dipaksa harus memilih satu dari 6 agama yang diakui oleh negara, manakala mereka mengurus administrasi kependudukan, semisal KTP maupun Kartu Keluarga (KK). Parmalim menganggap perlakuan itu sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan beragama. Masalah lainnya, berupa stigma negatif dari masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap Parmalim sebagai kelompok sesat yang mesti ditolak kehadirannya. Puncak dari penolakan itu, ketika pada Tahun 2005, sekelompok warga menyabotase Parmalim yang hendak beribadah di Bale Pasogit (rumah ibadah) mereka di Jalan Air Bersih, Simpang Limun, Medan. Meski menghadapi berbagai perlakuan itu, parmalim hingga sampai saat ini masih tetap eksis dan selalu melakukan ritual ibadah mereka.