Please use this identifier to cite or link to this item: https://repositori.uma.ac.id/handle/123456789/24656
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.authorLubis, Andi Hakim-
dc.contributor.authorSiagian, Fahrizal S.-
dc.date.accessioned2024-07-16T07:21:48Z-
dc.date.available2024-07-16T07:21:48Z-
dc.date.issued2024-07-
dc.identifier.urihttps://repositori.uma.ac.id/handle/123456789/24656-
dc.description125 Halamanen_US
dc.description.abstractSejarah politik Indonesia modern mencatat bahwa setiap kali pemilihan umum, atau pemilu, muncul kritikan yang meragukan proses dan hasil pemilu. Hal ini tidak hanya terjadi pada pemilu selama Orde Baru, tetapi juga pada masa reformasi dan pasca reformasi yakni Pemilu 1999, Pemilu Legislatif 2004, dan Pemilu Presiden 2004. Protes bahkan terjadi di Pemilu 1955, yang dianggap sebagai yang paling bersih. Seiring dengan berlangsungnya pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) pada tahun 2005, daftar protes ketidakpuasan terhadap pemilu semakin bertambah. Di satu sisi, ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pemilu itu disebabkan oleh banyaknya pelanggaran peraturan pemilu yang belum diselesaikan; di sisi lain, ketidakpuasan tersebut disebabkan oleh perasaan terhadap tindakan penyelenggara pemilu yang tidak adil. Pada Pemilu 1955, partai-partai oposisi menuduh Panitia Pemilihan Indonesia sengaja memperlambat pembentukan panitia pelaksana pemilu di daerah untuk memasukkan kandidat yang dapat menguntungkan partai pemerintah. Dengan kata lain, mereka menuduh panitia pelaksana pemilu di daerah yang dibentuk oleh Panitia Pemilihan Indonesia tidak independen. Pelanggaran hukum marak selama Orde Baru karena pemilu dirancang untuk memenangkan partai pemerintah. Panwaslak Pemilu telah ada sejak Pemilu 1982, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk mengurangi ketidakpuasan karena pelanggaran terjadi, bukan untuk menyelesaikan pelanggaran itu sendiri.Namun, hasil Pemilu 1999 hampir tidak dapat disahkan karena sebagian besar anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berasal dari partai politik menolak menandatangani hasil penghitungan suara nasional. Alasannya adalah banyaknya pelanggaran yang terjadi selama proses pemilu, sehingga hasilnya tidak dapat divalidasi. Sejumlah partai juga melakukan hal yang sama saat menilai hasil Pemilu Legislatif 2004. Mereka bahkan menuntut pemilu ulang.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherUniversitas Medan Areaen_US
dc.relation.ispartofseriesISBN;978-623-10-1959-2-
dc.subjecttindak pidana pemiluen_US
dc.titleTindak Pidana Pemilu di Indonesiaen_US
dc.title.alternativeElection Crime in Indonesiaen_US
dc.typeBooken_US
Appears in Collections:Books

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
E Book - Tindak Pidana Pemilu di Indonesia - Bab I, Daftar Pustaka.pdfBab I, Daftar Pustaka769.44 kBAdobe PDFView/Open
E Book - Tindak Pidana Pemilu di Indonesia - Bab II, III, IV, V, VI, Biodata Penulis.pdf
  Restricted Access
Bab II, III, IV, V, VI, Biodata Penulis1.17 MBAdobe PDFView/Open Request a copy


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.